KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang
Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak
untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas dengan judul ”KEBUDAYAAN
SUKU SUKU YANG ADA DI PULAU JAWA”.
Dalam penyusunannya,
penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang telah memberikan
dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanalah semua
kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan
dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis
berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu
ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar skripsi ini dapat lebih baik lagi.
Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Cirebon, 4 Februari
2014
Penyusun
XI TKJ 1
Daftar Isi
Kata pengantar
Daftar isi
Suku Sunda
Suku Tengger
Suku Osing
Suku Jawa
Suku Betawi
Suku Madura
Daftar pustaka
SUKU
SUNDA
SEJARAH
Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke- 8 penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaannya berada disekitar Bogor, sekarang. Sejarah Sunda mengalami babak baru karena arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan kompeni Belanda sejak (1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram(sejak1625).
Menurut RW. Van Bemelan pada tahun 1949, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.
Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke- 8 penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaannya berada disekitar Bogor, sekarang. Sejarah Sunda mengalami babak baru karena arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan kompeni Belanda sejak (1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram(sejak1625).
Menurut RW. Van Bemelan pada tahun 1949, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda.
DESKRIPSI LOKASI
Secara cultural daerah Pasundan di
daerah timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy, yang merupakan
perbatassan bahasa. Wilayah ini sendiri memiliki luas 55.390 km² serta terdiri
atas 20 kabupaten. Tanah Pasundan ini dikenal karena iklimnya yang sejuk dan
keindahan panoramanya. Berada di daerah dataran tinggi dengan curah hujan
tinggi sehingga kesuburan tanahnya tidak diragukan lagi. Pada tahu 1998, suku
Sunda berjumlah kurang lebih 33 juta jiwa, kebanyakan dari mereka hidup di Jawa
Barat.
UNSUR-UNSUR BUDAYA
1.BAHASA
Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu unda-usuk bahasa untuk membedakan golongan usia dan status erati antara lain yaitu
Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu unda-usuk bahasa untuk membedakan golongan usia dan status erati antara lain yaitu
1.
Bahasa Sunda lemes (halus) yaitu dipergunakan untuk berbicara dengan orang tua,
orang yang dituakan atau disegani.
2.
Bahasa Sunda sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun
status sosialnya.
3.
Bahasa Sunda kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada
orang yang status sosialnya lebih rendah. Namun demikian, di Serang, dan
Cilegon, bahasa Banyumasan (bahasa Jawa tingkatan kasar) digunakan oleh etnik
pendatang dari Jawa.
2.RELIGI
Sebagain besar masyarakat suku Sunda menganut agama Islam, namun ada pula yang beragama eratin, Hindu, Budha, dll. Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat, karena bagi mereka kewajiban beribadah adalah prioritas utama.
Sebagain besar masyarakat suku Sunda menganut agama Islam, namun ada pula yang beragama eratin, Hindu, Budha, dll. Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat, karena bagi mereka kewajiban beribadah adalah prioritas utama.
3.TEKNOLOGI
Hasil-hasil teknologi terkini sangat mudah didapatkan seperti alat-alat yang digunakan untuk pertanian yang dasa jaman dulu masih menggunakan alat-alat tradisional, kini sekarang telah berubah menggunakan alat-alat modern, seperti traktor dan mesin penggiling padi. Disamping itu juga sudah terdapat alat-alat telekomunikasi dan barang elektronik modern.
Hasil-hasil teknologi terkini sangat mudah didapatkan seperti alat-alat yang digunakan untuk pertanian yang dasa jaman dulu masih menggunakan alat-alat tradisional, kini sekarang telah berubah menggunakan alat-alat modern, seperti traktor dan mesin penggiling padi. Disamping itu juga sudah terdapat alat-alat telekomunikasi dan barang elektronik modern.
4. MATA
PENCAHARIAN
Mata pencaharian pokok masyarakat
Sunda adalah
1.
Bidang perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit, karet, dan kina.
2.
Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran.
3.
Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau.
Selain
itu pedagang, pengrajin, dan peternak.
5.
ORGANISASI SOSIAL
Sistem kekerabatan yang digunakan
adalah erati kekerabatan parental atau bilateral, yaitu mengikuti garis
keturunan kedua belh phak orang tua. Pada saat menikah, orang Sunda tidak ada
keharusan menikah dengan keturunan tertentu asal tidak melanggar ketentuan
agama. Setelah menikah, pengantin baru era tinggal ditempat kediaman istri atau
suami, tetapi pada umumnya mereka memilih tinggal ditempat baru atau neolokal.
Dilihat dari sudut ego, orang Sunda mengenal istilh tujuh generasi keatas dan
tujuh generasi ke bawah, antara lain yaitu :
Tujuh generasi keatas :
|
Tujuh generasi kebawah :
|
- Kolot
- Embah
- Buyut
- Bao
- Janggawareng
- Udeg-udeg
- Gantung siwur
|
- Anak
- Incu
- Buyut
- Bao
- Janggawareng
- Udeg-udeg
- Gantung siwur
|
6. SISTEM PENGETAHUAN
Fasilitas yang cukup memadai dalam bidang pengetahuan maupun informasi
memudahkan masyarakat dalam memilih institusi pendidikan yang akan mereka
masuki dalam berbagai jenjang. Seperti pada permulaan masa kemerdekaa di Jawa
Barat terdapat 358.000 murid sekolah dasar, kemudian pada tahun 1965 bertambah
menjadi 2.306.164 murid sekolah dasar. Jadi berarti mengalami kenaikan sebanyak
544%. Pada saat ini pada era ke- 20 disetiap ibukota kabupaten telah tersedia
universitas-universitas, fakultas-fakultas, dan cabang-cabang universitas.
7.KESENIAN
Masyarakat Sunda begitu gemar akan kesenian, sehingga banyak terdapat berbagai jenis kesenian, diantaranya seperti :
Masyarakat Sunda begitu gemar akan kesenian, sehingga banyak terdapat berbagai jenis kesenian, diantaranya seperti :
a.
Seni tari : tari topeng, tari merak, tari sisingaan dan tari jaipong
b.
Seni suara dan erat :
-
Degung (semacam eratin) : menggunakan gendang, gong, saron, kecapi, dll.
-
Salah satu lagu daerah Sunda antara lain yaitu Bubuy bulan, Es lilin, Manuk
dadali, Tokecang dan Warung pojok.
c.
Wayang golek
d.
Senjata tradisional yaitu kujang
SUKU TENGGER
SEJARAH
Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan erati dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara Kasodo di Tengger. Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan eratin yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.
DESKRIPSI LOKASI
Suku bangsa Tengger berdiam
disekitar kawasan di pedalaman gunung Bromo yang terletak di kabupaten Probolinggo,
Jawa Timur. Berdasarkan persebaran bahasa dan pola kehidupan erati masyarakat,
daerah persebaran suku Tengger adalah disekitar Probolinggo, Lumajang,
(Ranupane kecamatan Senduro), Malang (desa Ngadas kecamatan Poncokusumo), dan
Pasuruan. Sementara pusat kebudayaan aslinya adalah di sekitar pedalaman kaki
gunung Bromo.
UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
1.BAHASA
Bahasa yang berkembang di masyarakat suku Tengger adalah bahasa Jawa Tengger yaitu bahasa Jawi kuno yang diyakini sebagai dialek asli orang-orang Majapahit. Bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab mantra pun menggunakan tulisan Jawa Kawi. Suku Tengger merupakan salah satu sub kelompok orang Jawa yang mengembangkan variasai budaya yang khas. Kekhasan ini era dilihat dari bahasanya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa dialek tengger, tanpa tingkatan bahasa sebagaimana yang ada pada tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa pada umumnya.
Bahasa yang berkembang di masyarakat suku Tengger adalah bahasa Jawa Tengger yaitu bahasa Jawi kuno yang diyakini sebagai dialek asli orang-orang Majapahit. Bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab mantra pun menggunakan tulisan Jawa Kawi. Suku Tengger merupakan salah satu sub kelompok orang Jawa yang mengembangkan variasai budaya yang khas. Kekhasan ini era dilihat dari bahasanya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa dialek tengger, tanpa tingkatan bahasa sebagaimana yang ada pada tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa pada umumnya.
2.PENGETAHUAN
Pendidikan pada masyarakat Tengger sudah mulai terlihat dan maju dengan dibangunnya sekolah-sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah disekitar kawasan Tengger. Sumber pengetahuan lain adalah mengenai penggunaan mantra-mantra tertentu oleh masyarakat Tengger.
Pendidikan pada masyarakat Tengger sudah mulai terlihat dan maju dengan dibangunnya sekolah-sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah disekitar kawasan Tengger. Sumber pengetahuan lain adalah mengenai penggunaan mantra-mantra tertentu oleh masyarakat Tengger.
3.TEKNOLOGI
Dalam kehidupan suku Tengger, sudah mengalami teknologi komunikasi yang dibawa oleh wisatawan-wisatawan eratin maupun mancanegara sehingga cenderung menimbulkan perubahan kebudayaan. Suku Tengger tidak seperti suku-suku lain karena masyarakat Tengger tidak memiliki istana, pustaka, maupun kekayaan seni budaya tradisional. Tetapi suku Tengger sendiri juga memiliki beberapa obyek penting yaitu lonceng perungggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing.
Dalam kehidupan suku Tengger, sudah mengalami teknologi komunikasi yang dibawa oleh wisatawan-wisatawan eratin maupun mancanegara sehingga cenderung menimbulkan perubahan kebudayaan. Suku Tengger tidak seperti suku-suku lain karena masyarakat Tengger tidak memiliki istana, pustaka, maupun kekayaan seni budaya tradisional. Tetapi suku Tengger sendiri juga memiliki beberapa obyek penting yaitu lonceng perungggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing.
4.RELIGI
Mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama era yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Kristen, dll. Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasono. Selain Kasodo, upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.
Mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama era yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Kristen, dll. Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasono. Selain Kasodo, upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.
5.
ORGANISASI SOSIAL PERKAWINAN.
Sebelum ada Undang-Undang perkawinan
banyak anak-anak suku Tengger yang kawin dalam usia belia, misalnya pada usia
10-14 tahun. Namun, pada masa sekarang hal tersebut sudah banyak berkurang dan
pola perkawinannya eratin. Adat perkawinan yang diterapkan oleh siuku Tengger
tidak berbeda jauh dengan adat perkawinan orang Jawa hanya saja yang bertindak
sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Adat menetap setelah
menikah adalah neolokal, yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di
lingkungan yang baru. Untuk sementara pasangan pengantin berdiam terlebih
dahulu dilingkungan kerabat istri.
6. SISTEM
KEKERABATAN.
Seperti orang Jawa lainnya, orang
Tengger menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yaitu garis
keturunan pihak ayah dan ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah
keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak
7. SISTEM
KEMASYARAKATAN.
Masyarakat suku Tengger terdiri atas
kelompok-kelompok desa yang masing-masing kelompok tersebut dipimpin oleh
tetua. Dan seluruh perkampungan ini dipimpin oleh seorang kepala adat.
Masyarakat suku Tengger amat percaya dan menghormati dukun di wilayah mereka
dibandingkan pejabat eratiive karena dukun sangat berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger mengangkat masyarakat lain dari luar
masyarakat Tengger sebagai warga kehormatan dan tidak semuanya era menjadi
warga kehormatan di masyarakat Tengger. Masyarakat muslim Tengger biasanya
tinggal di desa-desa yang agak bawah sedangkan Hindu Tengger tinggal
didesa-desa yang ada di atasnya.
8. MATA
PENCAHARIAN
Pada masa kini masyarakat Tengger
umumnya hidup sebagai petani di erati. Prinsip mereka adalah tidak mau menjual
tanah (erati) mereka pada orang lain. Macam hasil pertaniannya adalah kentang,
kubis, wortel, tembakau, dan jagung. Jagung adalah makanan pokok suku Tengger.
Selain bertani, ada sebagian masyarakat Tengger yang berprofesi menjadi pemandu
wisatawan di Bromo. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menawarkan
kuda yang mereka miliki untuk disewakan kepada wisatawan.
9.KESENIAN
Tarian khas suku Tengger adalah tari sodoran yang ditampilkan pada perayaan Karo dan Kasodo. Dari segi kebudayaan, masyarakat Tengger banyak terpengaruh dengan budaya pertanian dan pegunungan yang kental meskipun sebagian besar budaya mereka serupa dengan masyarakat Jawa umumnya, namun ada pantangan untuk memainkan wayang kulit.
Tarian khas suku Tengger adalah tari sodoran yang ditampilkan pada perayaan Karo dan Kasodo. Dari segi kebudayaan, masyarakat Tengger banyak terpengaruh dengan budaya pertanian dan pegunungan yang kental meskipun sebagian besar budaya mereka serupa dengan masyarakat Jawa umumnya, namun ada pantangan untuk memainkan wayang kulit.
10.
NILAI-NILAI BUDAYA
Orang Tengger sangat dihormati oleh
masyarakat Tengger karena mereka selalu hidup rukun, sederahana, dan jujur
serta cinta damai. Orang Tenggr suka bekerja keras, ramah, dan takut berbuat
jahat seperti mencuri karena mereka dibayangi adanya erat karma apabila mencuri
barang orang lain maka akan erati balasan yaitu hartanya akan hilang lebih
banyak lagi. Orang Tengger dangat menghormati Dukun dan Tetua adat mereka.
11. ASPEK
PEMBANGUNAN
Aspek pembangunan yang terlihat
adalah pada erati pariwisata misalnya dengan pembangunan-pembanguna akses-akses
menuju gunung Bromo agar lebih mudah dijangkau oleh wisatawan. Desa Tosari
merupakan salah satu pintu gerbang daerah Tengger, desa ini memanjang dari
utara sampai selatan. Di tengah desa itu terdapat pasar dan tempat-tempat
ibadah seperti masjid bagi umat Islam dan pura bagi umat Hindu. Selain itu
terdapat pula kantor kelurahan, kantor kecamatan, dan koramil, kantor PKK,
sekolah dasar, madrasah, taman-kanak-kanak, pos kesehatan, dan taman gizi serta
puskesmas. Jadi desa-desa yang ada di wilayah Tengger sudah cukup maju.
SUKU OSING
4. SEJARAH
Suku Osing adalah penduduk asli dari
Banyuwangi yang telah menjadi penduduk mayoritas. Osing lahir akibat runtuhnya
kerajaan Majapahit. Pada waktu itu orang-orang Majapahit mengungsi kebeberapa
tempat, yaitu lereng gunung Bromo (suku Tengger), Blambangan (suku Osing) dan
Bali, peristiwa ini terjadi sekitar tahun 1478 M. Kerajaan yang didirikan oleh
masyarakat Osing adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha.
B. SISTEM
RELIGI
Pada awal terbentuknya masyarakat
Osing, kepercayaan pertama suku Osing adalah ajaran Hindu-Budha seperti halnya
Majapahit. Seiring dengan berkembangnya kerajaan Islam di Pantura menyebabkan
agama Islam menyebar dengan cepat dikalangan suku Osing, sehingga pada saat ini
agama masyarakat Osing sebagian besar memeluk agama Islam. Selain agama Islam,
masyarakat suku Osing juga masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma
yaitu kepercayaan yang kiblat sembayangnya berada di timur seperti orang Cina,
Pamu (Purwo Ayu Mandi Utomo) yaitu kepercayaan yang masih bernafaskan Islam.
Sistem religi yang ada di masyarakat Osing ada yang mengandung erati Animisme,
Dinamisme, dan Monotheisme.
C.
BAHASA
Bahasa asli suku Osing merupakan
turunan langsung dari bahasa Jawa kuno, namun dialek bahasa Osing berbeda
dengan bahasa Jawa. Bahasa Osing mengenal sisem ajaran yang khas yaitu
kata-kata yang didahului dengan konsonan (B, D, G) serta di beri sisipan (Y),
contohnya : abang menjadi abyang, abah menjadi abyah.
D. MATA PENCAHARIAN
Macam-macam mata pencaharian
masyarakat suku Osing yaitu dengan keadaan topografi daerah Banyuwangi terutama
desa Kemiren yang cukup tinggi maka macam-macam mata pencaharian di masyarakat
Kemiren adalah Pegawai Negeri, ABRI, Guru, Swasta, Pedagang, Petani, Peternak,
Pertukangan, Buruh Tani, Pensiunan, Nelayan, Pemulung, Buruh Biasa, dan Buruh
Jasa. Macam-macam jenis hasil mata pencahariannya yaitu hasil pertanian yang
terdiri dari atas padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kentang, tomat,
bawang, kacang panjang, terong, timun, dan lain-lain. Selain itu juga terdapat
hasil perkebunan yang terdiri atas kelapa, kopi, cengkeh, randu, mangga,
durian, pisang, rambutan, erati, apokat, jeruk, dan blimbing. Dan ada terdapat
juga hasil perindustrian yang terdiri atas tenunan, atau plismet, ukir-ukiran,
dan kerajinan barang lainnya. Dalam bermata pencaharian masyarakat suku Osing
terdapat teknik-teknik dalam bermata pencaharian yaitu cara kerja yang dilakukan
masyarakat suku Osing yaitu seperti dalam teknik pertanian yaitu membajak, dan
pembasmian hama dan teknik dalam home eratin yaitu menenun, dan mengukir.
E. ORGANISASI SOSIAL
Pola perkawinan. Masyarakat suku
Osing di Banyuwangi mempunyai tradisi perkawinan yang terpengaruh gaya Jawa,
Madura, Bali, bahkan pengaruh dari suku lain di luar Jawa dalam hal gaun
pengantinnya. Di lingkungan masyarakat suku Osing Banyuwangi berlaku adat
perkawinan dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut : (1) tahap perkenalan;
(2) tahap meminang; (3) tahap peresmian perkawinan. Selain dari tahap-tahap
tersebut, masyarakat suku Osing Banyuwangi juga mengenal adat perkawinan yang
cukup menarik, yaitu Adu Tumper dan Perang Bangkat. Sistem organisassi erati.
Suku Osing berbeda dengan suku Bali dalam hal stratifikasi erati. Suku Osing
tidak mengenal kasta seperti halnya suku Bali. Pola kekerabatan di masyarakat
suku Osing adalah bilateral yang lebih mengararah pada patrilineal. Sistem
lembaga masyarakat suku Osing antara lain kepala desa, sekretaris desa, LMD,
kaur pemerintahan, kaur kesra, kaur pembangunan, dan kaur keuangan.
F. KESENIAN
Suku Osing banyak memiliki
kesenian yang unik dan sarat akan magis. Kesenian suku Osing adalah kesenian
yang memiliki keaneragaman corak budaya, sebab dalam keseniannya suku Osing
banyak dipengaruhi oleh Bali, akan tetapi corak keseniannya juga dipengaruhi
oleh Madura dan Eropa. Kesenian suku Osing diantaranya adalah :
1. Tarian yaitu tari gandrung door, tari jejer dawuh,
tari jejer gandrung, tari sumber wangi, tari padang wulan, tari jaran goyang,
tari kunthulan, tari barong, tari seblang, tari jengger, tari jaran kecak.
2. Lagu daerah yaitu padang wulan, jejer gandrung, jaran
ucul.
3. Seni erat dan eratin erat yaitu angklung caruk,
angklung paglak, karawitan, selentem, peking, gong, ketuk, kluncing, biola,
sason, saron, gamelan Osing.
G. SISTEM PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
Pengetahuan tentang alam sekitar
(dongeng, legenda mitos), pengetahuan tentang flora, makanan khas, obat-obatan.
Perlengkapan :
1. Perlengkapan berlindung :
- Jenis rumah dan bentuk rumah : tikel balung, baresan,
serocokan.
- Bagian dan fungsi ruangan rumah : amperan,
bale,/jerungan, pawon.
2. Perlengkapan alat mata pencaharian : teter, singkal,
patuk sangkan, boding, atau parang, kilung.
3. Alat perlengkapan rumah tangga.
4. Alat perlengkapan dalam ritual keagamaan.
5. Alat transportasi meliputi mobil pick up yang
digunakan untuk mengangkut barang-barang dan juga orang.
6. Senjata : pedang, keris, cundrik, tolop, tolop
sengkop.
SUKU JAWA
Suku Jawa merupakan suku
terbesar di Indonesia, baik dalam jumlah maupun luas penyebarannya.
Mereka kerap menyebut dirinya sebagai Wong Jowo atau Tiang Jawi.
Orang Jawa telah menyebar erati ke semua pulau
besar di Indonesia sejak abad ke-18. Selain menyebar di wilayah nusantara, suku
Jawa pada saat itu juga sudah dibawa ke Suriname (Amerika Selatan), ke Afrika
Selatan, erati Haiti di Lautan Teduh (Pasifik) oleh Belanda.
Menurut populasi aslinya, suku Jawa menempati wilayah
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah
Istimewa Yogyakarta. Namun di luar wilayah itu, sebagian provinsi
Jawa Barat juga banyak suku Jawa, seperti Cirebon, Indramayu, Jakarta, dan
Banten.
Di wilayah Sumatra, suku Jawa paling banyak adalah di wilayah Lampung. Sisanya
menyebar ke seluruh pulau besar di Indonesia.
4. Pusat
Konsentrasi Budaya Suku Jawa
Berdasarkan pengaruh budaya erati
masyarakatnya, daerah-daerah yang menjadi konsentrasi kebudayaan suku Jawa
adalah daerah Banyumas, Kedu, Madiun, Malang, Kediri, Yogyakarta,
dan Surakarta. Yogyakarta dan Surakarta dianggap sebagai pusat kebudayaan Jawa
yang bercorak pada kebudayaan istana (kraton). Masyarakat di sekitar pantai
utara dan timur lebih dikenal sebagai orang Jawa Pesisiran.
B. Sistem Sosial Masyarakat Suku Jawa
Masyarakat Jawa mengenal erati
lapisan masyarakat yang nyata perbedaannya. Yaitu antara lain:
- Bendoro atau Bendoro Raden, yaitu golongan bangsawan
keturunan raja-raja.
- Priyayi, yaitu para kaum terpelajar yang memang biasanya
berasal dari golongan bangsawan juga.
- Wong cilik, yaitu golongan erati paling bawah, seperti
golongan petani di sekitar desa.
Pada kenyataannya sekarang, perbedaan tersebut kian
memudar seiring dengan peradaban masyarakat yang semakin berkembang. Sistem
kekerabatan masyarakat suku Jawa menganut prinsip bilateral. Kerabat-kerabat
dari pihak bapak atau ibu dipanggil dengan sebutan yang sama. Misalnya Bibi
untuk menyebut adik perempuan dari bapak atau dari ibu. Untuk pasangan yang
baru menikah, mereka tidak akan mempersoalkan di rumah mana mereka akan menetap
selagi belum mempunyai rumah sendiri. Bisa di rumah orangtua istri atau
orangtua suami.
C. Bahasa Suku Jawa
Masyarakat Jawa dalam
berkomunikasi satu sama lain sehari-hari menggunakan bahasa Jawa yang
bertingkat-tingkat. Penggunaan bahasa pada tingkat tertentu dipengaruhi juga
oleh orang Jawa dalam kelas tertentu.
Secara resmi, bahasa Jawa dibedakan atas tiga tingkatan,
antara lain sebagai berikut.
Ø Bahasa ngoko,
yaitu bahasa yang dipakai untuk orang yang sudah dikenal dekat dan akrab, atau
dipakai untuk berbicara kepada orang yang lebih muda
Ø Bahasa karma
( Kromo ), yaitu bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih
tua atau yang tingkat sosialnya lebih tinggi, seperti petani berbicara kepada
golongan priyayi.
Ø Bahasa
madya, yaitu bahasa variasi dari penggunaan bahasa ngoko dan bahasa karma.
Di luar ketiga bahasa tersebut, dikenal dengan bahasa kedaton,
yaitu bahasa yang digunakan di lingkungan eratin. Orang Jawa terkenal dengan
stereotip sifatnya yang lemah lembut, sopan, dan halus. Namun masyarakat Jawa
tidak suka berterus terang, tidak bersifat terbuka. Mereka lebih suka
menyembunyikan perasaan mereka terhadap suatu hal. Ini dikarenakan orang suku
Jawa mengutamakan keharmonisan dan tepa selira (tenggang rasa). Namun
tidak semua orang suku Jawa suka menyembunyikan perasaannya. Masyarakat di
daerah pesisir lebih terbuka daripada nonpesisir. Beberapa wilayah di Jawa Timur
juga mempunyai sifat yang lebih ekspresif, terus terang, dan egaliter.
SUKU BETAWI
Suku Betawi berasal dari hasil
kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang
mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku
dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi
sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari
perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta,
seperti orang Sunda, Jawa,
Bali,
Bugis,
Makassar,
Ambon, dan Melayu
serta suku-suku pendatang, seperti Arab,
India, Tionghoa,
dan Eropa.
A. Istilah Betawi
Kata Betawi digunakan untuk
menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta
dan bahasa Melayu
Kreol
yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Kata
Betawi berasal dari kata “Batavia,” yaitu nama lama Jakarta pada masa Hindia
Belanda.
B. Sejarah
Diawali oleh orang Sunda (mayoritas), sebelum
abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian
Pakuan Pajajaran.
Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau
Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok
serta Gujarat
di India.
Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja Kerajaan Sunda) dengan bangsa
Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan Portugis untuk membangun suatu
komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk erat
dengan bangsa Portugis yang menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas
ini lahir erat keroncong. Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya,
Belanda memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian dan
membangun roda perekonomian kota ini. Ketika itu VOC banyak membeli budak dari
penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.[1]
Itulah penyebab masih tersisanya kosa kata dan tata bahasa Bali dalam bahasa
Betawi kini. Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari
penjuru Nusantara hingga Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini.
Pengaruh suku bangsa pendatang asing tampak jelas dalam busana pengantin Betawi
yang banyak dipengaruhi erati Arab dan Tiongkok. Berbagai nama tempat di
Jakarta juga menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku
bangsa ke Batavia; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa,
Kampung Makassar dan Kampung Bugis. Rumah Bugis di bagian
utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai
pada tahun 1690.
Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah
Kota.
Antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, MA memperkirakan,
etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini
didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis
sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman eratin
Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa
atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk
dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis
Betawi. Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang
sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moor, orang Bali, Jawa,
Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa,
orang Ambon
dan Banda,
dan orang Melayu. Kemungkinan kesemua suku bangsa Nusantara dan Arab Moor ini
dikategorikan ke dalam kesatuan penduduk pribumi (Belanda: inlander) di Batavia
yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.
Suku Betawi pada tahun 1930, kategori orang
Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru
dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan
menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog
Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan
menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis
itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering
menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran,
orang Senen,
atau orang Rawabelong. Pengakuan
terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan erati
dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia
Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin,
tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan
Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar
mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa
orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia
yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut
yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk erat di luar benteng Batavia
tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang
kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Setelah kemerdekaan
Sejak akhir abad yang lalu dan
khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta
dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti
apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ‘suku’ Betawi
mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada
waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan
tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah
tergusur atau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku
yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang
itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.
C. Seni dan kebudayaan
Budaya Betawi merupakan budaya mestizo,
atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Hindia
Belanda, Batavia (kini Jakarta) merupakan ibu kota Hindia Belanda
yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami
Jakarta antara lain, Jawa, Sunda,
Minang,
Batak,
dan Bugis.
Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya
luar, seperti budaya Arab, Tiongkok,
India,
dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk
asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari
Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat
dan provinsi Banten.
Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun
budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya
di Situ Babakan.
D. Bahasa
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi
adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil
perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain
di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa
suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah,
Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda Kalapa, pernah
diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena
itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan Sunda Kalapa, jauh sebelum
Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di
Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang
digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20,
Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang
berbeda dengan etnis Sunda
dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih
banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda
seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari
Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng),
dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah
kuno Bujangga Manik[2]
yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.
Meskipun bahasa formal yang
digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah
Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu
dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya
berbunyi “é” sedangkan dialek Betawi pinggir adalah “a”. Dialek Betawi pusat
atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari
tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar
Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga
batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai
dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat
hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi
tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka
memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh
penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas
adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa’’ (mengapa). Dialek Betawi tengah
jelas menyebutkan “é”, sedangkan Betawi pinggir bernada “a” keras mati seperti “ain”
mati dalam eratin mengaji Al Quran.
E. Musik
Dalam bidang kesenian, misalnya,
orang Betawi memiliki seni Gambang
Kromong yang berasal dari seni erat Tionghoa,
tetapi juga ada Rebana
yang berakar pada tradisi erat Arab,
Keroncong Tugu dengan
latar belakang Portugis-Arab,
dan Tanjidor
yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong,
F. Tari
Seni tari di Jakarta merupakan
perpaduan antara erati-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya
tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong
Sunda, Cokek
dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan
Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.
Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama
juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.
G. Drama
Drama tradisional Betawi antara
lain Lenong
dan Tonil. Pementasan lakon
tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi,
dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran
lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.
H. Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di
Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung,
juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen
atau si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan
maupun kehidupannya yang dikenal “keras”. Selain mengisahkan jawara atau
pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima
yang menggambarkan kehidupan zaman eratin. Creita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan
Kemayoran, Juragan Boing dan yang
lainnya.
Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang
bersarungkan terbuat dari kayu.
J. Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di
antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka
adalah keturunan campuran antara penduduk erat dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16,
Surawisesa, raja Sunda mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan
Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di
Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu,
Jakarta Utara.
K. Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sebelum era pembangunan orde
baru Berprofesi sebagai :
guru, pengajar, pendidik
pedagang, pembatik
petani, perkebunan.
L. Perilaku dan sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang
berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak
sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni
Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur Jakarta saat ini.
Ada beberapa hal
yang positif dari Betawi antara lain jiwa erati mereka sangat tinggi, walaupun
kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius.
SUKU MADURA
Suku Madura di Indonesia
jumlahnya kira-kira ada 10 juta jiwa. Mereka berasal dari Pulau Madura dan
pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Pulau Sapudi, Pulau Raas dan
Kangean. Selain itu, orang Madura tinggal di sebelah timur Jawa Timur, dari
Pasuruan sampai utara Banyuwangi. Orang Madura di
Situbondo dan Bondowoso, serta timur Probolinggo
jumlahnya paling banyak, dan jarang yang era berbahasa Jawa.
Bahasa yang dipergunakan oleh Suku Madura adalah bahasa
Madura, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Agama mereka sebagian besar adalah
Islam dan sebuah minoritas kecil ada yang beragama Kristen.
Suku Madura juga banyak dijumpai di propinsi lain seperti
Kalimantan, di Sampit dan Sambas. Orang Madura pada dasarnya adalah orang yang
suka merantau karena keadaan wilayahnya yang tidak baik untuk bertani. Orang
Madura senang berdagang dan dominan di pasar-pasar. Selain itu banyak yang
bekerja menjadi nelayan, buruh, pengumpul besi tua dan barang-barang rongsokan
lainnya.
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang
blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga
dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Selain itu orang Madura
dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat, sekalipun kadang melakukan ritual
Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji).
Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan orang
Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa “Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang
Pote Mata”. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata).
Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.
Madura adalah nama pulau yang terletak di sebelah Utara
Jawa Timur. Pulau Madura besarnya kurang lebih 5.250 km2 (lebih kecil daripada
pulau Bali), dengan penduduk sekitar 4 juta jiwa. Madura dibagi menjadi empat
kabupaten:
1. Bangkalan
2. Sampang
3. Pamekasan
4. Sumenep
Pulau Madura termasuk propoinsi
Jawa Timur dan memiliki nomor kendaraan bermotor sendiri: Pulau ini terkenal
sebagai pemasok garam nasional bagi Indonesia. Pilihan bertambak garam bagi
penduduk Madura disebabkan kurang begitu suburnya tanah pulau ini bagi
pertanian. Karena eratin serupa, banyak orang Madura menjadi perantau ke
daerah-daerah lain di Indonesia. Komunitas
Madura yang besar dapat ditemukan di pulau Kalimantan selain di Jawa.
4. Bangkalan
Kabupaten Bangkalan, adalah
sebuah kabupaten di Pulau Madura. Ibukotanya adalah Bangkalan. Kabupaten ini
terletak di ujung paling barat Pulau Madura; berbatasan dengan Laut Jawa di
utara, Kabupaten Sampang di timur, serta Selat Madura di selatan dan barat.
Pelabuhan Kamal merupakan pintu gerbang Madura dari Jawa,
dimana terdapat layanan kapal ferry yang menghubungkan Madura dengan Surabaya
(Pelabuhan Ujung). Saat ini telah dibangun Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura),
yang kelak akan menjadi jembatan terpanjang di Indonesia. Bangkalan merupakan
salah satu kawasan perkembangan Surabaya, serta tercakup dalam lingkup
Gerbangkertosusila.
2. Sampang
Kabupaten Sampang, adalah sebuah
kabupaten di Pulau Madura. Ibukotanya adalah Sampang. Kabupaten ini berbatasan
dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Pamekasan di timur, Selat Madura di
selatan, serta Kabupaten Bangkalan di barat. Masakan khas kota ini adalah
kaldu.
3. Pamekasan
Kabupaten Pamekasan adalah
sebuah kabupaten di Pulau Madura. Ibukotanya adalah Pamekasan. Kabupaten ini
berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Madura di selatan, Kabupaten
Sampang di barat, dan Kabupaten Sumenep di timur. Pusat pemerintahan di
Kecamatan Pamekasan.
4. Sumenep
Sumenep (bahasa Madura:
Songènèb) adalah sebuah kabupaten di ujung timur Pulau Madura.Ibu kotanya ialah
Kota Sumenep. Sumenep memiliki sebuah eratin keluarga kerajaan Madura,
Cakraningrat. Kabupaten Sumenep selain terdiri wilayah daratan juga terdiri
dari kepulauan yang berjumlah 126 pulau. Pulau yang paling utara adalah Pulau
Karamian yang terletak di Kecamatan Masalembu dan pulau yang paling Timur
adalah Pulau Sakala
DAFTAR PUSTAKA